kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Belum Ada Pertanda Defisit Neraca Dagang Berakhir


Selasa, 07 Januari 2020 / 17:14 WIB
Belum Ada Pertanda Defisit Neraca Dagang Berakhir
ILUSTRASI. Implementasi Sistem informasi Monitoring Devisa terIntegrasi Seketika (SiMoDIS): Pekerja di Pelabuhan Peti Kemas Koja, Jakarta Utara, jumat (27/12). Mulai 1 Januari 2020 Bank Indonesia (BI) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai meningkatkan kepatuhan peng

Reporter: Havid Vebri, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah memperluas pasar ekspor Indonesia belum membuahkan hasil. Padahal berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk gencar memberikan insentif dan berbagai kemudahan bagi eksportir.

Bahkan, barang remeh-temeh yang sebenarnya bisa dibuat industri di dalam negeri, seperti pacul dan cangkul pun masih banyak impor dari China. Tentu banyaknya impor justru akan membengkakkan defisit neraca perdagangan Indonesia.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan pada November kembali mengalami defisit sebesar US$ 1,33 miliar. Angka ini menjadi yang terburuk selama tujuh bulan terakhir atau sejak April 2019 lalu yang mencatatkan defisit US$ 2,29 miliar.

Hingga November 2019, terjadi defisit lima kali neraca perdagangan. Defisit neraca perdagangan tersebut disebabkan oleh peningkatan impor di tengah penurunan ekspor ketimbang bulan sebelumnya. Secara tahunan pun, penurunan ekspor masih lebih besar ketimbang penurunan impor.

Menurut BPS, ekspor Indonesia pada bulan November 2019 tercatat hanya US$ 14,01 miliar atau turun sebesar 6,17% month on month (mom). Nilai ekspor bulan lalu, lebih rendah dibandingkan dengan November 2017 dan 2018.

Secara kumulatif, nilai ekspor Januari–November 2019 sebesar US$ 153,11 miliar. Angkanya menurun dari posisi Januari–November 2018 sebesar US$ 165,72 miliar. Sementara kinerja impor Januari–November 2019 sebesar US$156,22 miliar.

Realisasi itu turun dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$173,35 miliar. Dari situ, jika diakumulasi, defisit neraca perdagangan Januari–November 2019 mencapai US$ 3,11 miliar.

“Karena ada perekonomian yang melambat dan perdagangan internasional yang juga melambat sehingga permintaan menurun,” kata Kepala BPS Suhariyanto.

Persoalan defisit neraca dagang ini memang sudah berlangsung sejak 2018, seiring melambatnya perekonomian global. Nilai impor yang tumbuh lebih kencang dari nilai ekspor membuat neraca perdagangan Indonesia tahun lalu mengalami defisit untuk pertama kalinya dalam empat tahun terakhir.

BPS mencatat nilai impor Indonesia 2018 tumbuh 20,15% menjadi US$ 188,63 miliar. Sementara nilai ekspor hanya tumbuh 6,65% menjadi US$ 180,06 miliar. Alhasil, sepanjang tahun lalu defisit perdagangan US$ 8,57 miliar.

Bahkan, defisit 2018 tersebut merupakan yang terburuk sepanjang sejarah. Sebelumnya, Indonesia pernah mengalami defisit dalam tiga tahun secara beruntun sejak 2012-2014, yakni masing-masing defisit US$ 1,7 miliar, US$ 4,1 miliar dan US$ 2,2 miliar.

Pemicu defisit sama, akibat penurunan nilai ekspor nonmigas sementara permintaan impor domestik cenderung meningkat. Kendati tidak sebesar 2018, tahun ini diperkirakan defisit hampir menyamai kondisi 2014, yakni pada kisaran US$ 4 miliar.

“Kami prediksi sepanjang tahun 2019 defisit perdagangan mencapai US$ 4 miliar,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira.

Defisit mungkin masih berlanjut tahun depan

Defisit bahkan diperkirakan bakal berlanjut hingga tahun depan dengan estimasi menunjukkan penurunan menjadi US$ 2,5 hingga US$ 3 miliar. Faktornya ekspansi industri manufaktur cenderung terhambat, sehingga mengurangi impor bahan baku.

Dari sisi impor barang konsumsi juga dipengaruhi pemberlakuan batasan impor barang kiriman bebas bea masuk dari sebelumnya US$ 75 menjadi US$ 3 untuk setiap penerima barang per hari, atau lebih dari satu kali pengiriman per hari.

Kebijakan ini ditetapkan berdasarkan hasil pantauan pemerintah atas maraknya impor barang, terutama lewat e-commerce yang berlaku mulai 1 Januari 2020.

Ditjen Bea dan Cukai mencatat, volume impor barang kiriman, naik signifikan dari US$ 540,92 juta di 2018 menjadi US$ 673,88 juta di 2019 atau naik 68,64% year on year (yoy). Dari nilai barang impor kiriman tahun 2019, sebesar 98% bernilai di bawah US$ 75.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, kebijakan itu merupakan upaya pemerintah menggalakkan ekspor melalui e-commerce dan mengendalikan impor melalui transaksi online tersebut.

“Selama ini e-commerce kebanyakan impor. Padahal banyak peluang baru bagi e-commerce, pasar produk Indonesia sebenarnya besar di luar, hanya kurang informasi dan sekarang sudah mulai,” ujarnya.

Namun, tetap saja upaya itu belum akan ampuh mengatasi defisit neraca dagang. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menyebutkan, defisit neraca dagang masih akan berlanjut hingga tahun depan.

Namun demikian, defisit kemungkinan lebih rendah dari tahun ini karena perbaikan harga dan peningkatan permintaan komoditas minyak sawit dan batubara di pasar ekspor, khususnya dari China. “Kami prediksi defisit neraca dagang sepanjang 2020 bisa kurang US$ 3 miliar,” ujarnya.

Sepanjang tahun ini, ia memprediksi defisit neraca perdagangan bisa tembus hingga

US$ 4 miliar. Defisit tetap berlanjut karena permintaan ekspor tetap lemah. Di sisi lain, sektor manufaktur nasional tak menunjukkan geliat ekspansi yang cukup signifikan.

Terbukti, ekspor industri pengolahan atau manufaktur juga loyo. BPS mencatat nilai ekspor industri pengolahan mencapai US$ 10,58 miliar per November 2019. Perolehan itu lebih rendah 1,66% dibandingkan periode sama tahun lalu.

Melemahnya ekspor manufaktur tersebut sejalan dengan melambatnya laju impor bahan baku penolong dan barang modal. BPS melaporkan, hingga November 2019 impor bahan baku penolong tercatat turun 13,23% secara tahunan. Sementara impor barang modal turun 3,55% secara tahunan.

Laporan BPS tersebut sekaligus mengonfirmasi data pertumbuhan industri manufaktur dari sisi produksi. Berdasarkan hasil riset IHS Markit, angka purchasing manager index (PMI) manufaktur pada bulan November berada di level 48,2.

Kendati lebih tinggi dari PMI manufaktur bulan Oktober 2019 yang sebesar 47,7, IHS Markit menyatakan kondisi manufaktur Indonesia masih belum menunjukkan perbaikan, bahkan memburuk.

Kondisi manufaktur yang semakin memburuk pada November 2019 disebabkan penurunan yang terjadi pada output dan pesanan baru. Selain itu, penjualan juga tercatat lebih rendah sehingga menyebabkan masih berlanjutnya tren penumpukan barang jadi.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana bilang, kondisi itu menunjukkan pelambatan sektor manufaktur. “Padahal, untuk memacu ekspor perlu perbaikan kinerja manufaktur,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×