Reporter: Elisabeth Adventa, Havid Vebri, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia butuh ekspor sebanyak mungkin! Begitu pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri peresmian ekspor perdana produk Isuzu Traga di pabrik Isuzu Karawang Plant, Kawasan Industri Suryacipta, Karawang Timur, Kamis (12/12).
Pernyataan Presiden tersebut bukan tanpa alasan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang terbit Senin (16/12), kinerja ekspor Indonesia memang masih memble.
Sepanjang Januari hingga November tahun ini, nilai ekspor negara kita tercatat sebesar US$ 153,11 miliar. Angka itu menurun dari posisi Januari–November 2018 yang sebesar US$ 165,72 miliar.
Untungnya, nilai impor di periode yang sama menyusut menjadi US$ 156,22 miliar dari periode sama tahun lalu sebesar US$ 173,35 miliar. Sehingga, defisit neraca perdagangan kita sedikit menyempit menjadi US$ 3,11 miliar.
Pemerintah sejatinya sudah mengeluarkan banyak jurus guna menggenjot ekspor, tapi belum ampuh-ampuh amat. Karena itu, pemerintah terus mengeluarkan berbagai terobosan agar ekspor bisa melaju lebih pesat lagi.
Strategi terbaru adalah menugaskan Kementerian Perdagangan (Kemdag) menuntaskan perjanjian dagang dengan sejumlah negara yang sampai sekarang masih dalam proses penyelesaian. Langkah itu diambil guna memperbaiki defisit neraca perdagangan.
Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kemdag, Iman Pambagyo, mengatakan, penyelesaian perjanjian dagang adalah amanat Presiden Jokowi yang menjadi salah satu agenda pemerintah.
Lantaran status sebagai agenda pemerintah, maka semua perundingan dilakukan dengan sepengetahuan dan dukungan semua kementerian dan lembaga terkait.
“Tujuannya, adalah meningkatkan daya saing Indonesia di pasar ekspor dalam menghadapi negara lain yang telah lebih dulu memiliki perjanjian perdagangan dengan negara tujuan ekspor tersebut,” jelasnya.
Ia menjelaskan, saat ini pemerintah sedang merundingkan perjanjian dagang dengan Uni Eropa (UE), Turki, Tunisia, Bangladesh, dan Pakistan (upgrading). Pemerintah juga tengah menjajaki perundingan dagang dengan sejumlah negara lainnya, seperti Nigeria, Afrika Selatan dan Kenya.
“Pembicaraan juga telah dilakukan dengan Peru namun belum dicapai kesepakatan bentuk perjanjian yang akan dirundingkan,” jelasnya.
Sementara itu, pembicaraan penjajakan juga telah dimulai dengan Sri Lanka, Eurasian Economic Community, Colombia dan Mercosur untuk meningkatkan perdagangan dan investasi dua arah, yang bila disepakati dapat ditingkatkan ke perundingan perjanjian perdagangan.
Mercosur sendiri adalah sebutan untuk blok dagang negara-negara di Amerika Latin yang beranggotakan Argentina, Brasil, Paraguay, dan Uruguay.
Adapun di tingkat regional yang akan dituntaskan di 2020 adalah perjanjian Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). Ada 16 negara dalam RCEP yang juga tergabung dalam ASEAN plus China, India, Korea, Jepang, Australia, dan Selandia Baru.
Menurut Iman, Indonesia siap mengakselerasi penyelesaian perundingan-perundingan yang sedang berlangsung saat ini. “Pemerintah akan berusaha menyelesaikan perundingan dengan Bangladesh, RCEP, Tunisia dan Pakistan pada tahun 2020,” ujarnya.
Wakil Menteri Perdagangan (Mendag) Jerry Sambuaga menambahkan, proses perundingan yang mendekati selesai adalah dengan Tunisia. “Mudah-mudahan Februari atau Maret tahun depan tuntas,” ujarnya.
Sementara itu, perundingan dengan UE juga sudah berlangsung selama sembilan kali putaran. Sayangnya, perundingan menjadi alot karena kebijakan UE yang melarang impor kelapa sawit (CPO) dan produk turunannya dari Indonesia. Padahal, bahan baku ini banyak digunakan dalam berbagai olahan industri di Eropa.
“Sementara kita ingin produk yang diekspor mendapatkan kemudahan,” ucap Jerry.
Selain UE, perundingan dagang dengan negara-negara Benua Afrika juga belum mendapatkan respon positif. Pasalnya, negara-negara tersebut terikat perjanjian perdagangan regional masing-masing.
Namun, semua itu tak menyurutkan upaya Kemdag mencari peluang baru tujuan ekspor. Menurut Iman, pemerintah akan terus berupaya membuka peluang pertumbuhan ekonomi baru dengan cara memetakan ekspor ke beberapa kawasan.
Ia menuturkan, ada beberapa pertimbangan yang digunakan untuk menentukan dengan negara mana Indonesia akan melakukan perundingan. Antara lain besarnya pasar dan kelas menengah, serta potensi investasi ke Indonesia maupun investasi Indonesia ke negara tersebut.
“Selain itu, ada juga pertimbangan seperti potensi untuk mengembangkan supply chain, forward linkage, dukungan politik luar negeri dan lainnya,” tuturnya.
Selain mengebut perjanjian dagang baru, pemerintah juga akan me-review beberapa perjanjian dagang yang sudah ada. Antara lain perjanjian dengan Jepang dalam bentuk Economic Partnership Agreement (EPA), ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) dan ASEAN Economic Community 2025.
Secara umum, produk-produk ekspor yang diandalkan lewat perjanjian-perjanjian perdagangan tersebut meliputi produk pertanian, perikanan, alas kaki, dan pakaian jadi.
Nah, untuk perjanjian-perjanjian terbaru maupun yang sedang dirundingkan, fokus lebih diberikan pada produk barang jadi, seperti sparepart dan otomotif, mesin presisi, bahan kimia, furniture, serta sektor jasa seperti sektor finansial/perbankan, jasa bisnis, konstruksi, pariwisata dan lainnya.
Namun demikian, ekspor komoditas tetap akan dilakukan. Negara-negara, seperti Maroko dan Tunisia, merupakan pasar potensial untuk ekspor produk perkebunan dan ekspor jasa konstruksi.
Sementara Bangladesh juga terus mengimpor produk kereta dan turunannya dari Indonesia. Lalu, Turki dan Uni Eropa merupakan pasar CPO dan turunannya.
Jangan terburu-buru
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana menyambut positif upaya pemerintah menyelesaikan beberapa perjanjian dagang baru dengan sejumlah negara. Menurutnya, upaya itu akan membantu menjaga neraca perdagangan, karena ekspor bakal meningkat.
Namun, ia mengingatkan, perjanjian dagang tersebut bakal memacu masuknya produk-produk impor dari negara mitra dagang. “Jangan sampai kita tidak bisa memaksimalkan perjanjian tersebut, akibatnya justru menjadi bumerang buat kita,” ujarnya.
Ia mencontohkan perjanjian perdagangan bebas AFTA China, yang mana Indonesia ada di dalamnya. “Akibat perjanjian itu justru kita kebanjiran produk impor dari China,” ujarnya.
Maka itu, menurut dia, sebelum membuat perjanjian dagang baru dengan sejumlah negara, ada baiknya pemerintah mengevaluasi kembali seluruh perjanjian dagang yang sudah ada. Evaluasi itu harus dilakukan dengan melihat kesiapan industri lokal dalam memanfaatkan perjanjian dagang tersebut.
Selain itu, perlu juga mencermati beberapa kategori produk yang diminta negara lain, apakah memiliki keunggulan komparatif dibandingkan produk lokal. “Intinya jangan sampai market domestik produk lokal dikorbankan. Harus win-win,” cetusnya.
Ia khawatir, bila pemerintah terburu-buru mengejar perjanjian baru di tengah ketidaksiapan industri, maka Indonesia tidak akan bisa berkompetisi.
Pendapat sama juga disampaikan Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef). Menurutnya, perjanjian dagang sebaiknya jangan berbentuk free trade agrement (FTA).
Akan tetapi, lebih baik dalam format Preferential Trade Agreement (PTA) dengan jenis produk dan penurunan tarif yang spesifik.
Ia mencontohkan, keberhasilan PTA Indonesia-Pakistan antara sawit dan jeruk kino yang terbukti bisa mendongkrak ekspor Indonesia. “Jadi harus lebih selektif memilih jenis perjanjian dan negara mitra dagang,” ujarnya.
Menurut dia, selama ini banyak FTA yang tidak efektif karena kurang spesifik, terlalu umum dan kurang sosialisasi ke pengusaha. Sebut saja perjanjian dagang antara Indonesia dan Australia (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement/IA-CEPA) yang berakhir dengan banjirnya produk impor di pasar domestik.
Pengusaha dalam negeri mengakui belum maksimal dalam memanfaatkan fasilitas perjanjian perdagangan bebas. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengatakan, hal tersebut terjadi karena banyak pengusaha yang belum memahami pokok-pokok perjanjian dalam FTA.
Pemahaman yang kurang tersebut membuat pemanfaatan fasilitas yang bisa diperoleh dari kesepakatan perdagangan bebas yang dilakukan pemerintah selama ini menjadi kurang maksimal.
Maka itu, ia berharap sosialisasi perjanjian dagang dilakukan kepada pelaku usaha. Tujuannya agar pelaku usaha bersiap diri dan bisa menggali peluangnya.
Ia sendiri menilai, seluruh perjanjian tersebut dapat memberikan potensi untuk meningkatkan akses pasar. Contohnya RCEP yang bida mendatangkan potensi besar. Tapi disisi lain, risikonya juga besar.
Menurut dia, Indonesia akan punya risiko peningkatan impor yang tinggi pasca RCEP apabila pemerintah tidak cepat-cepat melakukan perbaikan iklim usaha dan iklim investasi nasional agar lebih berdaya saing.
Iman mengakui, selama ini tingkat utilisasi perjanjian dagang yang sudah berjalan masih belum maksimal. Yakni, bervariasi antara 45%-70%. Artinya, belum semua ekspor Indonesia ke negara-negara mitra dagang memanfaatkan secara optimal perjanjian dagang yang ada.
Guna memaksimalkan sosialisasi ke pelaku usaha, sejak 2018 Kemdag bekerjasama dengan pemerintah daerah (Pemda) dan perguruan tinggi setempat telah membentuk FTA Centers di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar dan Medan.
Fungsinya sebagai wadah memperkenalkan dan membimbing pelaku usaha di daerah untuk memanfaatkan perjanjian-perjanjian dagang tersebut.
Semoga jurus-jurus baru pemerintah kali ini manjur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News