Reporter: Elisabeth Adventa, Havid Vebri, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tepat tiga pekan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar rapat terbatas tentang fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian akhir November lalu, kalangan pelaku usaha mendapat kado istimewa dari Pemerintah RI.
Kado spesial itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu, atau sering disebut tax allowance. PP ini merupakan revisi atas PP sebelumnya yakni PP No.18/2015 dan PP No. 9/2016.
Rofyanto Kurniawan Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengatakan, lewat beleid anyar tersebut, pemerintah merelaksasi ketentuan sekaligus memperluas kategori bidang usaha yang berhak mendapatkan fasilitas keringanan PPh yang dihitung berdasarkan nilai investasi.
“Tujuan dari relaksasi ini adalah untuk mendorong investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya.
Sejatinya, fasilitas tax allowance meliputi pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah investasi selama enam tahun, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, pengenaan PPh atas deviden yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri sebesar 10% atau lebih rendah berdasarkan tax treaty, serta kompensasi kerugian lima sampai sepuluh tahun.
Fasilitas tersebut diberikan terhadap Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang melakukan penanaman modal maupun perluasan pada bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu. Adapun kriteria yang berhak mendapatkan fasilitas tersebut adalah yang memiliki nilai investasi yang tinggi atau untuk ekspor, memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar, atau memiliki kandungan lokal yang tinggi.
Selama ini, pemberian fasilitas fiskal ini mengacu pada dua kategori penanaman modal, yakni berdasarkan bidang usaha tertentu, dan bidang usaha tertentu dan di daerah tertentu.
Nah, berdasarkan beleid baru, jumlah bidang usaha tertentu ditambah dari sebelumnya 145 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI) diperluas menjadi 183, yang meliputi 166 bidang usaha. Artinya sebanyak 38 KBLI baru berhak menikmati diskon pajak.
Namun demikian, untuk kategori bidang usaha tertentu dan di daerah tertentu terjadi pemangkasan dari 74 kriteria menjadi 17 kriteria.
Menurut Rofy , bidang usaha tertentu dan di daerah tertentu yang bisa mendapat insentif PPh berkurang, karena pemerintah memutuskan untuk memberlakukan insentif di seluruh wilayah Indonesia. “Sebenarnya tidak dikurangi, tapi dipindahkan dari sebelumnya hanya di daerah tertentu menjadi seluruh daerah di Indonesia,” jelasnya.
Menurutnya, penambahan sektor usaha itu telah melalui pembahasan lintas kementerian, seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian di bawah koordinasi Kementerian Perekonomian. “Kami bahas sektor-sektor mana yang masih relevan dan tidak relevan, dan mana yang berpotensi.
Jadi, ada proses review bersama dilakukan dengan K/L terkait,” katanya. Contohnya tax allowance untuk produk pakaian, seperti batik yang selama ini belum masuk. “Nah sekarang batik masuk, begitu juga dengan sektor-sektor lain, termasuk KLBI sektor otomotif yang juga diperluas,” ujarnya.
Kompensasi kerugian
Secara umum, jenis fasilitas yang ditawarkan pemerintah tidak banyak berubah. Hanya saja terkait kompensasi kerugian, terdapat beberapa perubahan kriteria penambahan waktu kompensasi.
Pasal 3 Ayat (1) butir (d) mengatur ketentuan kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun tetapi tidak lebih dari sepuluh tahun. Beberapa perluasan kompensasi kerugian, antara lain, pertama sektor energi baru dan terbarukan mendapatkan tambahan satu tahun apabila investasi itu termasuk kegiatan usaha utama, baik penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada.
Kedua, tambahan dua tahun apabila investor mengekspor paling sedikit 30% dari nilai total penjualan dalam suatu tahun pajak untuk penanaman modal pada bidang usaha yang diatur, di luar kawasan berikat.
Di sisi lain, pemerintah melonggarkan kriteria penerimaan kompensasi kerugian dari sisi penyerapan tenaga kerja oleh investor. Beleid baru menentukan tambahan satu tahun apabila menambah paling sedikit 300 orang tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama empat tahun berturut-turut. Sementara, aturan lama sebanyak 500 orang tenaga kerja.
Kemudian, tambahan dua tahun apabila menambah paling sedikit 600 orang tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama empat tahun berturut-turut. Padahal aturan sebelumnya sebanyak 1.000 orang tenaga kerja.
Selanjutnya, tambahan satu tahun apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% paling lambat tahun pajak kedua. Pada beleid lama ketentuan waktu sejak tahun pajak keempat.
Menariknya, beleid tersebut juga mengatur kemudahan mengurus fasilitas tax allowance. Dalam aturan baru, pengajuan izin usaha calon penerima tax allowance diterbitkan melalui Online Single Submission (OSS) di bawah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mencakup perubahan izin prinsip, izin investasi atau pendaftaran penanaman modal.
“Dengan begitu akan ada notifikasi berapa lama diberikan insentifnya, jadi lebih pasti dan ada pemberitahuan di awal,” ungkap Rofy.
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak mengatakan, untuk memperoleh fasilitas tersebut, wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara daring melalui OSS dengan jangka waktu penerbitan Surat Keputusan lima hari kerja. "Sebelumnya secara manual selama 25 hari kerja,” katanya.
Dalam aturan sebelumnya, tatacara pengajuan diatur dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Berdasarkan Peraturan Kepala BKPM Nomor 8 tahun 2015, yang diubah menjadi Peraturan BKPM nomor 18 tahun 2015, dijelaskan permohonan tax allowance hanya bisa diajukan oleh wajib pajak yang sudah mendapatkan izin prinsip investasi, baik perluasan usaha maupun penambahan modal dari BKPM.
Permohonan tax allowance tersebut hanya bisa dilakukan secara manual melalui Pelayanan terpadu Satu Pintu (PTSP) yang ada di BKPM, yang kemudian diteruskan kepada Menteri Keuangan untuk diterima atau ditolak.
Respon positif
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani melihat aturan ini menjadi angin segar bagi dunia usaha. Menurutnya, dengan adanya revisi PP tax allowance, maka akan lebih memberikan ruang pemberian insentif ke dunia usaha.
“Terutama karena faktor penambahan sektor-sektor dan bidang usaha yang mendapatkan fasilitas,” ujarnya.
Selain itu, prosedur baru yang memberikan kemudahan dalam mengurus fasilitas tax allowance juga menarik buat dunia usaha. Menurut dia, kelemahan tax allowance selama ini adalah lack of time dan kepastian approval.
“Dengan adanya percepatan waktu, dan koordinasi lebih optimal dengan institusi terkait, misalnya BKPM, maka ini menjadi tambah positif tentunya,” ucap Ajib.
Selama ini, tax allowance telah diberikan ke sekitar 138 wajib pajak, dengan total investasi sekitar Rp 63 triliun. Diharapkan dengan revisi PP yang ada, bisa lebih memberikan daya ungkit ekonomi.
Michael Susanto Pardi, Ketua Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia (Akida) juga mengapresiasi PP tersebut. Menurut dia, aturan baru insentif tax allowance sangat ditunggu oleh para pengusaha lantaran aturan yang lama masih sulit diimplementasikan.
Hanya, dia berharap aturan teknisnya nanti lebih sederhana dari sisi persyaratan dan sistem pelaporannya. Ia mencontohkan di Singapura, apabila wajib pajak melakukan kesalahan pencatatan atau pelaporan, maka petugas pajak akan memberitahukan dan tinggal dikoreksi.
“Kalau di Indonesia, kita dikenai denda dan lain sebagainya,” jelas Michael.
Selain itu, menurut dia, selama ini kebanyakan yang menikmati insentif tax allowance hanya perusahaan-perusahaan skala besar, sedangkan perusahaan menengah dan kecil belum menikmatinya.
Perusahaan skala besar itu pun didominasi perusahaan-perusahaan asing. “Karena mungkin skala ekonomi mereka lebih besar sehingga mereka mampu menyewa konsultan pajak yang hebat,” ujarnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet berharap hal itu tidak terjadi lagi menyusul terbitnya aturan baru ini. Menurut dia, dengan dimasukkannya beberapa bidang usaha baru, seperti bidang energi baru dan terbarukan, serta bidang usaha lainnya, seperti e-commerce maka akan semakin banyak sektor usaha yang bisa menikmati fasilitas tersebut.
“Ini bagus karena bisa mendorong perkembangan di bidang-bidang usaha tersebut,” ujar Yusuf.
Selain itu, Yusuf juga mengapresiasi salah satu tambahan kompensasi, yaitu tambahan kompensasi 1 tahun bagi bidang usaha yang menggunakan bahan baku 70% sejak tahun kedua. Sementara di PP yang sebelumnya tertulis sejak tahun keempat.
Dengan adanya ini, Yusuf memandang pemerintah bisa mendorong pelaku usaha dan investor baru untuk melakukan hilirisasi dalam negeri dan ketika hilirisasi dalam negeri berjalan, tentu bisa berdampak positif ke perekonomian. Terlebih prosedur mengakses fasilitas ini juga dibuat lebih mudah.
Ekonom Institute Development of Economics and Finance (indef) Bima Yudhistira mengakui, salah satu kelemahan utama di aturan sebelumnya adalah implementasi yang dinilai masih membingungkan bagi kalangan dunia usaha.
Itu juga yang membuat efektivitas tax allowance dalam menarik minat investor masih sangat kurang. Maka itu, menurut dia, sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi kembali aturan insentif fiskal tersebut, dengan harapan bisa menjadi lebih menarik di mata investor.
“Harapannya kalau disimplifikasi prosedurnya dengan digabungkan ke OSS akan relatif lebih simpel,” tukasnya. Namun, menurut dia, tidak cukup hanya menunggu. Pemerintah juga harus aktif menjemput bola dalam menjaring investasi. Terlebih dalam kondisi ekonomi global yang sedang lesu.
Hanya saja, pemerintah diminta tetap berhati-hati dalam memberikan insentif pajak. Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, ketentuan tax allowance pada umumnya menciptakan hilangnya penerimaan pajak.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah mengevaluasi belanja pajak. Dengan begitu akan terlihat sejauh mana belanja pajak tersebut telah memberikan dampak positif dilihat dari tujuan diberikannya perlakuan khusus itu. “Pemerintah harus mengevaluasi sejauh mana efektivitas belanja pajak tersebut,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News