Reporter: Havid Vebri | Editor: Havid Vebri
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah keluar dari defisit neraca dagang sulit terwujud selama Indonesia masih terjebak pada ekspor produk komoditas yang memiliki nilai tambah sangat kecil.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, untuk keluar dari defisit neraca dagang pemerintah perlu memperkuat basis ekspor barang jadi.
Maka itu, pemerintah perlu memperkuat sektor manufaktur, mulai dari hulu hingga hilir. Penguatan sektor hulu bisa menekan impor bahan baku industri pengolahan di sektor hilir, yang selama ini menyumbang cukup besar terjadinya defisit neraca dagang.
Misalnya, pengolahan minyak sawit mentah menjadi produk oleokimia yang banyak dibutuhkan industri kosmetik dan lain-lain.
Menurutnya, selama ini industri dalam negeri memilih untuk mengekspor produk awal oleokimia, seperti fatty acid dan fatty alcohol dan mengimpor produk turunannya mengingat skala keekonomian yang belum menguntungkan.
“Nah, selama ini kami belum melihat upaya yang kuat dari pemerintah untuk membangun sektor hulu ini,” ujarnya.
Maka itu, kata dia, ke depan pemerintah harus serius memperkuat industri hulu demi terciptanya pengembangan swasembada bahan baku. Bukan saja memperbaiki defisit neraca dagang.
Kebijakan itu juga bisa memacu masuknya investasi ke dalam negeri karena ada jaminan kecukupan pasokan bahan baku di dalam negeri.
“Dengan tersedianya bahan baku di dalam negeri maka manufaktur kita termudahkan, dan itu juga akan meningkatkan kualitas produk hilirnya,” jelasnya.
Faisal mengatakan, tanpa memperkuat sektor manufaktur maka pemerintah selalu akan bergantung kepada ekspor komoditas mentah yang memiliki nilai jual rendah. Kondisi itu yang membuat Indonesia banyak dirugikan dalam sejumlah perjanjian dagang yang selama ini sudah berjalan.
Menurut dia, dalam beberapa perjanjian dagang, Indonesia justru dibanjiri produk impor dari negara mitra dagang.
“Contohnya perjanjian dagang dengan China dan Jepang. Indonesia ekspor komoditas mentah bernilai rendah, sementara mereka ekspor produk manufaktur ke Indonesia dengan nilai jual tinggi,” ujarnya.
Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo, mengatakan, jangan menyalahkan perjanjian dagang sebagai penyebab defisit neraca perdagangan. Tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah lemahnya daya saing produk.
“Indonesia ikut atau tidak perjanjian dagang, masalah utamanya tetap sama dan merupakan pekerjaan rumah yang tidak berhubungan langsung dengan FTA,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News