Reporter: Elisabeth Adventa, Havid Vebri, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ribut-ribut soal ketenagakerjaan kembali menyeruak di akhir tahun ini. Tapi kali ini pemicunya bukan soal kenaikan upah minimum provinsi (UMP) seperti yang sudah-sudah.
Polemik kembali menyeruak menyusul pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Pasalnya, dalam pembahasan calon beleid tersebut, beberapa isu sensitif turut dibahas. Salah satunya menyangkut sistem pengupahan dan pesangon.
Selama ini, dua persoalan tersebut menjadi tarik ulur antara kalangan buruh dan pengusaha. Tak pelak, dalam pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja, kedua isu tersebut kembali menuai konflik antara buruh dan pengusaha. Itu pula yang membuat pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja menjadi molor.
Sedianya, Kamis (12/12) lalu merupakan target penyampaian draf final beleid itu ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lantaran belum siap, RUU ini ditargetkan bisa masuk ke senayan Januari tahun depan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja terhambat pada pembahasan di aspek lapangan pekerjaan. Selain upah dan pesangon, di dalamnya juga terkait pembahasan soal jam kerja, proses perekrutan maupun pemutusan hubungan kerja atau PHK (easy firing easy hiring) serta fleksibilitas jam kerja.
“Pembahasannya masih ada yang kurang, kami masih rapat bersama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan dari Menaker belum selesai,” ujar Airlangga.
Direktur Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Wahyu Widodo mengakui, pembahasan seputar pengupahan dan pesangon belum final. Masalah formulasi pengupahan ini memang selalu menuai polemik.
Bagi kalangan pengusaha sistem pengupahan sekarang dianggap memberatkan karena upah minimum mengalami kenaikan setiap tahunnya. Namun di sisi lain, kenaikan itu tidak pernah memuaskan kalangan buruh. “Nah, itu sekarang lagi dibahas dan itu juga yang membuat mundur pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja,” jelas Wahyu.
Nampaknya, pembahasan calon beleid tersebut memang bakal alot, karena belum apa-apa sudah mendapat penolakan keras dari buruh. Terbukti, dalam pembahasan perdana melibatkan perwakilan buruh di Kantor Kemnaker pada Rabu (18/12), perwakilan buruh langsung menyuarakan penolakan atas kehadiran calon beleid ini.
“Kami menolak tegas konsep atau draf RUU Cipta Lapangan Kerja dalam skema Omnibus Law yang sekarang dibahas di Kemnaker,” kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono, usai pertemuan.
Menurut Kahar, dalam pembahasan Omnibus Law bersama Kemnaker, pihaknya sudah mendengar langsung dari pemerintah beberapa poin penting calon beleid tersebut.
Ditentang buruh
Nah, yang membuat perwakilan buruh terhenyak, calon beleid tersebut akan menghapus upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang berlaku di wilayah kabupaten/kota.
Selanjutnya, calon beleid itu hanya akan menerapkan upah minimum provinsi (UMP) sebagai standar pedoman upah bagi para pekerja. “Jelas kami menolak poin tersebut,” cetus Kahar.
Menurutnya, bila aturan itu disahkan menjadi UU jelas merugikan buruh dan menguntungkan pengusaha. Kahar mencontohkan UMP Jawa Barat di bawah Rp 2 juta. Sementara UMK Kabupaten Karawang di atas Rp 4 juta.
“Kalau berlaku, nanti upah minimum buruh di Jawa Barat mengacu standar UMP, yakni di bawah Rp 2 juta. Jelas merugikan kami,” tandas Kahar.
Selain menghapus UMP, calon beleid tersebut juga akan menjadikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sebagai rumus penghitungan upah.
Dalam PP 78, rumus perhitungan upah hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Sementara buruh meminta penetapan upah tetap berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Masalah pesangon juga membuat berang kalangan buruh. Pasalnya, calon beleid tersebut juga akan mengurangi jumlah pesangon bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam UU 13 misalnya, saat ini perusahaan diwajibkan untuk membayar nominal pesangon sebesar 13 kali gaji untuk karyawan yang sudah bekerja selama 10 tahun, terdiri atas pesangon sebesar 9 kali gaji dan upah penghargaan sebesar 4 kali gaji. “Nah itu jumlahnya nanti akan dikurangi, jelas kami menolak,” tandasnya.
Buruh juga menolak usulan fleksibilitas jam kerja seperti diatur dalam draf Omnibus Law. Menurut Kahar, para pekerja tetap menginginkan jam kerja yang sudah pasti seperti diatur dalam UU 13, yakni 8 jam kerja. “Kami tak mau dengan alasan fleksibilitas, lantas jam kerja menjadi lebih panjang dari itu,” ujarnya.
Protes juga datang dari Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar. Ia berpendapat, penghapusan UMK mustahil dilakukan karena biaya di tiap kabupaten/kota berbeda-beda. “Contoh lingkup Jawa Barat, kan tak sama antara Ciamis dan Karawang,” cetusnya.
Menurut Timboel, pengusaha jangan terlampau manja dan menganggap UMP sebagai satu-satunya beban. Ia berpendapat, masih banyak beban operasional pengusaha karena faktor-faktor lain di luar upah.
Misalnya, pungutan liar (pungli), perizinan, biaya energi yang mahal dan lain-lain. “Seperti biaya energi itu harusnya disubsidi oleh pemerintah,” ujarnya
Timboel justru mengusulkan agar ada intervensi pemerintah dalam upah minimum. Menurutnya, apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta patut dijadikan contoh. Di wilayah DKI, pekerja yang mendapat upah minimum mendapat subsidi lewat kartu pekerja.
“Itu bisa digunakan misal buat anaknya mendapat uang sekolah, mengakses kebutuhan pokok, kesehatan, dan lain-lain, ujarnya.
Skema yang diterapkan di DKI bisa diakomodasi dalam RUU Cipta Lapangan Kerja sehingga menjadi kewajiban bagi semua daerah. “Jadi insentif bagi para pekerja,” ujarnya.
Terkait pesangon, Timboel juga mengusulkan sistem asuransi PHK. Menurutnya, kompensasi PHK, seperti pesangon dan penghargaan masa kerja, harusnya memang masuk dalam skema jaminan sosial.
Jadi ketika ada pekerja masuk, pengusaha harus langsung menyisihkan 8,3% dari upah untuk skema jaminan sosial. “Itu sudah diatur dalam Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) pasal 24, sehingga ketika ada PHK, pengusaha tidak lagi sibuk mengatur cash flow,” jelasnya.
Wahyu sendiri tak menampik apa yang disampaikan KSPI. Menurut dia, sistem pengupahan saat ini cukup rumit karena setiap daerah punya kebijakan menentukan upah. “Di tingkat UMP saja saat ini ada 33 UMP, lalu standar mana yang mau dipakai?” katanya.
Maka itu, kata dia, ke depan perlu ada standar upah yang harus dijadikan sebagai jaring pengaman upah minimum bagi pekerja. “Dan itu tetap perlu diatur pemerintah,” ujarnya.
Namun, menurutnya, penetapan hanya sebatas pedoman dan jaring pengaman buat pekerja. Sementara untuk penetapan besaran upah, terutama bagi pekerja dengan upah yang tinggi itu diserahkan kepada mekanisme antara pengusaha dan pekerja. “Jadi khusus upah yang tinggi itu sesuai kebutuhan pasar,” jelas Wahyu.
Sementara menyangkut pesangon, ia mengakui, ada rencana untuk dikurangi jumlahnya. Menurut Wahyu, aturan tentang pesangon seperti diatur dalam UU 13 cukup memberatkan pengusaha. Akibatnya, selama 17 tahun UU itu berlaku, banyak pembayaran pesangon yang tidak jalan. “Realisasinya sangat kecil, hanya 38%,” ujarnya.
Sebagai solusi, menurut dia, pemerintah akan memberikan pelatihan guna meningkatkan keterampilan pekerja. Di sisi lain, pemerintah juga akan menciptakan lapangan pekerjaaan seluas-luasnya dengan menggandeng pihak swasta. “Dengan begitu PHK itu tidak perlu ditakuti lagi,” cetusnya.
Adapun soal fleksibilitas jam kerja menjadi sebuah keniscayaan di era digital. Ia mengakui, dengan format jam kerja yang dibuat fleksibel akan banyak pekerja berstatus outsourcing (alih daya). Namun, menurutnya, hal itu tak perlu ditakuti karena pemerintah juga akan menyiapkan program jaminan sosial.
“Sebagai perlindungan, pemerintah juga akan mengarahkan semua pekerja untuk ikut dalam program jaminan sosial,” ujarnya.
Jangan setiap tahun
Berbeda dengan buruh, kalangan pengusaha justru menyambut baik RUU Cipta Lapangan Kerja yang sedang disusun pemerintah.
Hariyadi Sukamdani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, upah minimum sektoral sudah tidak relevan bagi dunia usaha. Pasalnya, biaya tenaga kerja Indonesia menjadi cukup tinggi karena skema upah minimum sektoral.
“Kami mengusulkan tak ada lagi upah minimum sektoral. Skema pengupahan sebaiknya lebih kepada rasionalisasi kondisi ekonomi,” tandas Hariyadi.
Menurut Hariyadi, pemberlakuan upah minimum sektoral justru dapat mendorong pekerja untuk berpindah ke wilayah lain yang memiliki upah minimum lebih besar. Terlebih lagi, jumlah penduduk tidak mampu terus meningkat.
Hariyadi mengusulkan, upah minimum dibagi berdasarkan sektor padat modal dan padat karya. Industri padat modal merupakan industri yang memiliki teknologi tinggi. Sedangkan industri padat karya merupakan industri yang menggunakan banyak tenaga manusia.
Kendati demikian, penetapan upah minimum tetap harus berdasarkan standar kebutuhan hidup di tiap kota. Selain pengupahan, menurut dia, skema pesangon juga harus rasional.
Hariyadi mengusulkan, pesangon dapat diberikan maksimum 17 kali dari gaji terakhir. “Ini karena pesangon di Indonesia cukup tinggi,” ujarnya.
Menurut Hariyadi, pemerintah harus menilik beberapa referensi dari sengketa hubungan industrial. Faktanya, saat ini banyak terjadi kesepakatan kedua belah pihak karena tidak semua perusahaan mampu memenuhi amanat UU 13.
“Patokan nominal pesangon harus rasional juga, terutama untuk sektor-sektor industri yang sensitif. Percuma nominalnya tinggi-tinggi kalau akhirnya tidak bisa dieksekusi oleh perusahaan,” katanya.
Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan, selama ini masalah upah dan pesangon telah menimbulkan keraguan bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. “Upah sangat memberatkan karena tiap tahun terus naik” ujarnya.
Menurut Ade, tidak masalah kenaikan upah dilakukan berdasarkan survei KHL, asal kenaikannya jangan dilakukan setiap tahun. Idealnya bagi kalangan pengusaha, kenaikan upah cukup dilakukan setiap dua atau tiga tahun sekali. Dengan begitu, akan lebih memberikan kepastian atas rencana bisnis pengusaha ke depannya.
Begitu juga dengan pesangon yang dinilai tak kalah memberatkan. Menurutnya, penetapan pesangon saat ini sangat memberatkan pengusaha. “Itu sama saja menyuruh jangan investasi di Indonesia,” ujar Ade.
Pieter Abdullah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, mengatakan, sebaiknya pembahasan Omnibus Law dilakukan secara sangat hati-hati dan tidak terburu-buru. “Harus bisa mempertemukan kepentingan pengusaha dan buruh dan itu tidak mudah,” ujarnya.
Pieter mengakui, calon beleid tersebut tidak akan mampu bisa memuaskan kedua pihak. Namun, menurutnya, yang perlu dicari adalah yang bisa diterima oleh kedua pihak. “Pemerintah harus mengutamakan kepentingan perekonomian nasional, bukan kepentingan pengusaha bukan kepentingan buruh,” ungkapnya.
Ia mencontohkan soal fleksibilitas jam kerja. Menurutnya, hal itu adalah suatu kewajaran di saat sekarang ini. Namun, yang penting jangan sampai kebijakan itu merugikan kepentingan buruh.
Nampaknya, tidak semua pihak bakal puas dengan Omnibus Law.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News