kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Risiko Global Berlanjut, Ekonomi 2020 Makin Tertekan


Jumat, 13 Desember 2019 / 15:27 WIB
Risiko Global Berlanjut, Ekonomi 2020 Makin Tertekan
ILUSTRASI. Foto areal suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (14/11/2019). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 mencapai 5,3 persen. ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Reporter: Havid Vebri | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - Tahun ini merupakan masa-masa sulit bagi ekonomi Indonesia. Laju perekonomian Indonesia melaju terseok-seok. Jika dibandingkan tahun lalu, perekonomian Indonesia masih tumbuh tapi melambat.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi kuartal III 2019 di angka 5,02%. Angka tersebut melambat dibanding kuartal II 2019 sebesar 5,05% maupun periode yang sama tahun lalu 5,17%. “Data pertumbuhan kuartal III 2019 merupakan yang terendah selama dua tahun terakhir,” kata Kepala BPS, Suhariyanto.

Tekanan terhadap perekonomian nasional sepanjang tahun ini memang semakin kuat, menyusul perlambatan ekonomi global. Tak heran, sejumlah lembaga keuangan dunia kompak memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi RI tahun ini.

Bank Dunia, misalnya, belum lama ini kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 jadi 5% dari sebelumnya 5,1%. Pemangkasan tersebut seiring dengan kondisi ekonomi global yang makin tak pasti.

“Risiko penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi terjadi di tengah ketidakpastian global yang baru,” kata Lead Economist Bank Dunia Indonesia, Frederico Gil Sander.

Proyeksi tersebut sejalan dengan hasil survei Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan adanya perlambatan sejumlah indikator ekonomi pada kuartal III 2019. Sebut saja, survei perbankan BI, yang mengindikasikan adanya perlambatan pertumbuhan kredit baru pada triwulan III 2019.

BI mencatat, pertumbuhan pembiayaan ekonomi pada Oktober 2019 hanya 5,6%. Angka itu sangat jauh dibanding pertumbuhan pada Oktober 2018 sebesar 14,83% dan juga menurun jika dibandingkan September 2019 yang sebesar 7,27%. Menurut BI, kondisi itu dipicu melemahnya permintaan pembiayaan dari pelaku usaha.

Kalangan pelaku usaha mengamini kondisi tersebut. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, perkembangan sektor manufaktur yang tengah lesu darah turut menjadi pendorong melemahnya pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, industri manufaktur dalam negeri masih bergantung impor bahan baku dan barang modal. “Kondisi ini juga menyebabkan melebarnya defisit neraca dagang,” ujarnya.

Masih berlanjut

Celakanya, ekonomi Indonesia tahun depan diramal masih lesu. Prediksi ini tak menyenangkan, mengingat kita membutuhkan energi besar untuk mendorong ekonomi agar bisa keluar dari jebakan ekonomi 5%.

JP Morgan, Bank asal Amerika Serikat meramal, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun depan justru di bawah 5%, yakni cuma 4,9%. Ini jadi ramalan paling pesimistis, setelah Moody’s, dan lembaga internasional lainnya.

CORE Indonesia juga memprediksi hal sama. Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, mengatakan, ketidakpastian dinamika ekonomi global semakin meningkat menyusul eskalasi perang dagang yang makin meluas.

Di tengah ketidakpastian tersebut, maka laju pertumbuhan ekonomi diprediksi tetap di jalur lambat. CORE memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun depan di kisaran 4,9%-5,1%.

William Henley, pengamat ekonomi Indosterling Capital mengatakan, tantangan ekonomi 2020 masih sangat berat. Selain faktor eksternal, dinamika internal juga turut mempengaruhi laju perekonomian tahun depan.

Salah satunya terkait inflasi. Sampai November 2019, inflasi tahunan terkendali di level 3,0%. Tahun depan, rentang inflasi masih identik, yaitu 3,0% plus minus 1,0%. Inflasi memang rendah. Namun, inflasi yang terlalu rendah juga tidak serta merta positif. Sebab, bisa jadi ada pelemahan daya beli masyarakat.

Menurutnya, fakta ini perlu dicermati dengan seksama oleh pemerintah. "Daya beli itu erat kaitannya dengan konsumsi rumah tangga," ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), struktur produk domestik bruto Indonesia didominasi oleh konsumsi dengan persentase di atas 50%. Tingkat pertumbuhannya pun belakangan relatif stabil di atas 5,0%.

Ia berpendapat, dalam kondisi tersebut anggaran negara harus bertindak sebagai counter cyclical. Antara lain dengan menggenjot kembali anggaran belanja sosial di tahun depan.

Hal lain adalah membangun optimisme demi menarik investasi. Sejauh ini, Presiden sudah memberikan sinyal positif dalam wujud Omnibus Law. Terdapat dua RUU yang diajukan, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Walaupun banyak pihak meragukan, tapi Omnibus Law merupakan jawaban atas keluhan investor dalam dan luar negeri terhadap rumitnya peraturan demi peraturan di Tanah Air. Sementara dari sisi moneter, kebijakan BI memangkas bunga acuan harus diikuti oleh sektor perbankan dan keuangan.

Hal itu agar tren penurunan suku bunga kebijakan bank sentral dapat ditransmisi ke suku bunga kredit. Sehingga dapat menjadi stimulus kepada dunia usaha, baik skala besar hingga mikro sekalipun.

Ia juga mengapresiasi kebijakan BI lainnya seperti relaksasi kebijakan kredit properti dan kendaraan bermotor, hingga penurunan giro wajib minimum rupiah untuk bank umum konvensional dan bank umum syariah/unit usaha syariah sebesar 50 basis poin menjadi masing-masing 5,5% dan 4,0%.

"Berbagai kebijakan itu tentu tidak terlihat dalam waktu dekat. Paling lambat tahun depan semua baru berdampak kepada perekonomian Tanah Air," ujarnya.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono mengakui, bahwa situasi ekonomi saat ini sedang terdisrupsi. Menurutnya, pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah strategis untuk mengantisipasi resesi ekonomi tersebut.

Salah satunya menarik investasi dengan menyederhanakan perizinan dan regulasi terkait kemudahan berusaha, termasuk melalui penerapan Omnibus Law. Berikutnya adalah mendorong pelonggaran kebijakan moneter.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×