kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Sapi Perahan Baru Setoran Cukai


Jumat, 13 Desember 2019 / 17:39 WIB
Sapi Perahan Baru Setoran Cukai
ILUSTRASI. Pekerja melinting rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) dengan alat linting di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (15/1/2019). Pemerintah memutuskan tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau maupun kenaikan batasan harga jual eceran minimum di tahun 2019 dan akan me

Reporter: Elisabeth Adventa, Havid Vebri, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setoran pajak yang mulai terasa seret dalam dua tahun terakhir membuat pemerintah putar otak mencari cara baru untuk mengisi pundi-pundi penerimaan negara. Salah satu yang menjadi harapan sumber tambahan setoran bagi kas negara saat ini adalah penerimaan cukai – walau berbungkus “pengendalian konsumsi”.

Saat ini, pos penerimaan cukai baru dari tiga komponen saja. Yaitu, cukai hasil tembakau (CHT), minuman mengandung etil alkohol (MMEA), dan etil alkohol (EA). Dari tiga jenis barang kena cukai tersebut, penerimaan cukai hasil tembakau merupakan yang tertinggi.

Per 12 November 2019,  Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, penerimaan CHT sebesar Rp 125,02 triliun atau 75,56% dari total penerimaan bea dan cukai.

Setelah cukai hasil tembakau, kontributor terbesar penerimaan cukai berikutnya adalah cukai MMEA yang mencapai Rp 5,86 triliun atau 89,68% dari target, dan cukai ethil alkohol sebesar Rp 103,3 miliar atau 65,18% dari target.

Tahun ini, target total penerimaan cukai di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mencapai Rp 165,5 triliun, tumbuh 6,5% dari target tahun lalu yang dipatok Rp 155,4 triliun. Nah, di tengah target penerimaan yang terus meningkat, pemerintah pun terus mencari cara untuk mendongkrak penerimaan cukai. Salah satunya lewat program ekstensifikasi cukai.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemkeu Heru Pambudi mengatakan, proses ekstensifikasi barang kena cukai terus dilanjutkan. Setelah mengenakan cukai untuk rokok elektrik, pemerintah akan menambah beberapa barang kena cukai baru tahun ini.

Menurut Heru, pihaknya tengah mengkaji rencana penerapan cukai plastik, produk-produk yang menghasilkan emisi karbondioksida (CO2), dan produk yang memicu penyakit obesitas atau kegemukan dan diabetes. “Semua sedang kami kaji secara intensif dan mendalam,” katanya.

Selama ini ada banyak produk penghasil CO2, seperti kendaraan bermotor dan lain-lain. Sementara produk yang memicu timbulnya penyakit obesitas dan diabetes kebanyakan produk makanan dan minuman yang menggunakan pemanis buatan.

Nah, dari beberapa rencana penerapan cukai baru tersebut, cukai plastik yang paling maju pembahasannya. Saat ini, rencana penerapan cukai kantong plastik tinggal menunggu pembahasan lebih lanjut dengan DPR. Heru berharap pembahasan dapat diteruskan sehingga bisa disetujui.

Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi DJBC Deni Surjantoro menambahkan, rencana ekstensifikasi cukai baru ini bukan semata-mata didasari upaya untuk menggenjot penerimaan negara. Tapi juga bertujuan untuk pengendalian konsumsi, perbaikan lingkungan, dan kesehatan masyarakat.

“Instrumen cukai itu sebenarnya lebih kepada aspek pengendalian. Seperti halnya pengendalian plastik, itu sama pentingnya mengendalikan barang cukai lain, seperti rokok,” ujar Deni.

Sementara, signifikansi pengenaan cukai terhadap penerimaan negara tidak terlalu besar. Namun, ia belum bisa menyampaikan target penerimaan maupun persentase cukai yang akan dikenakan, karena masih tahap pembahasan.

Hanya, untuk cukai kantong plastik akan dikenai pungutan sebesar Rp 200 per lembar, dengan target penerimaan negara sebesar Rp 500 miliar pertahun. Menurut Deni, pembahasan rencana cukai kantong plastik tersebut sudah selesai di tingkat pemerintah. “Tinggal menunggu persetujuan DPR saja, diharapkan bisa secepatnya diterapkan,” ujarnya.

Kendati sudah dikenakan cukai, cairan vape juga tetap masuk dalam target DJBC. Saat ini, pemerintah telah memungut cukai cairan vape sebesar 57% dari harga jualnya. Namun, menurut Deni, kebijakannya bukan lagi menaikkan tarif cukai. Pasalnya tarif cukai cairan vape yang berlaku sekarang sudah tarif maksimal.

Pilihan yang diambil adalah menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok elektrik sejalan dengan naiknya tarif cukai dan HJE rokok konvensional yang efektif per Januari 2020. Nah, kenaikan HJE rokok elektrik itu direncanakan berlaku efektif mulai awal tahun depan.

Menurut Deni, pihaknya saat ini masih terus melakukan pembahasan terkait rencana kenaikan HJE vape tersebut. “Pada prinsipnya kita berencana untuk menyesuaikan besaran pungutan untuk vape supaya ada kesamaan level playing field,” ungkapnya.

Namun, ia juga belum bisa mengumumkan berapa besaran kenaikan HJE vape. “Masih dibahas juga,” cetusnya.

Ia pun memastikan, pembahasan seluruh rencana penerapan cukai baru, termasuk kenaikan HJE vape, bakal melibatkan pelaku usaha. “Sekarang masih di internal pemerintah, nanti kami libatkan,” ujarnya.

Keberatan pengusaha

Rencana pemerintah melakukan ekstensifikasi cukai ini sontak mendapat penolakan dari kalangan pelaku usaha yang menjadi objek langsung dalam program ekstensifikasi cukai tersebut.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengatakan, jika cukai dikenakan pada produk makanan minuman pemicu obesitas dan diabetes, bakal berdampak besar bagi industri. Akibatnya, para produsen harus menaikkan harga jual.

“Ada studi elasticity produk minuman dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) di mana elasticity bisnis minuman berada di level 1,7. Artinya, ada kenaikan 1% saja pada harga jual akan menurunkan penjualan 1,7%,” kata Adhi.

Gapmmi menilai, tidak seharusnya makanan dan minuman kemasan berpemanis dikenai cukai hanya karena alasan kesehatan. Ada baiknya pemerintah lebih gencar mengkampanyekan gaya hidup sehat, ketimbang mengenakan cukai pada minuman berpemanis. 

Pasalnya, pengenaan cukai ini bakal merugikan banyak kalangan. Bukan saja produsen yang penjualannya terancam turun, konsumen juga dirugikan bila harga jual produk naik, terlebih di tengah daya beli yang sedang melambat seperti saat ini.

Selain itu, pemerintah juga akan dirugikan dari sisi penerimaan negara. “Pemerintah akan rugi karena kenaikan cukai lebih kecil dari penurunan pajak-pajak dari PPh badan, PPN, PPh 21, dan lainnya,” jelas Adhi.

Menurutnya, kondisi itu jelas kontraproduktif terhadap keinginan pemerintah mendongkrak pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global. Selain itu, rencana pengenaan cukai juga dikhawatirkan bakal meningkatkan impor barang konsumsi.

Para produsen makanan dan minuman kemasan beralih ke impor karena harganya bakal lebih murah. “Akan semakin menurunkan daya saing industri, ujung-ujungnya bisa jadi malah impor produk jadi,” tandas Adhi.

Pelaku usaha rokok elektrik juga keberatan atas rencana pemerintah mengerek naik HJE vape. Sekretaris Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Edy Suprijadi, mengaku keberatan atas rencana kenaikan HJE tersebut. Terlebih bila kenaikan HJE vape mencapai 58% mengikuti kenaikan HJE salah satu golongan rokok konvensional.

Menurut Edy, kenaikan HJE hingga 58% akan membuat harga sejumlah produk vape menjadi sangat mahal dan tidak terjangkau bagi masyarakat.

“Market pasti ada kekhawatiran kalau harga akan naik. Sementara mereka kan menanggap produk ini sebagai alternatif,” pungkasnya.

Namun demikian, Edy meyakini pemerintah akan terlebih dahulu berdiskusi dan bertukar pikiran dengan asosiasi pelaku usaha rokok elektrik sebelum menaikkan HJE.

Dengan begitu, pemerintah dapat merumuskan solusi yang seimbang antara mengendalikan konsumsi masyarakat dan menjaga iklim usaha vape tetap berkembang. Menurut Edy, sebesar 80% pelaku usaha vape berskala usaha kecil dan menengah.

“Kita ingin melaksanakan aturan pemerintah, tapi iklim usaha juga kami harap dijaga tetap kondusif agar kita bisa berkembang ke depan. Industri ini lahirnya dari komunitas dan sebagian besar bertaraf UKM,” lanjut Edy.

Penolakan juga dibentangkan dari industri plastik. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia, Fajar Budiono, mengatakan, akibat adanya larangan penggunaan plastik dan wacana cukai plastik, industri bisa mengerem investasi. “Terbukti pabrikan plastik sekarang sudah banyak yang mengurangi produksinya,” ujarnya.

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, mengatakan, program ekstensifikasi cukai memang akan membebani industri. Akibatnya kinerja industri bakal makin tertekan. Padahal, saat ini industri manufaktur tengah lesu akibat perlambatan ekonomi global.

“Harusnya pemerintah bisa memberikan stimulus untuk manufaktur karena kondisi global sekarang masih belum stabil,” tandasnya.

Namun, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai ekstensifikasi cukai diperlukan sebagai program pengendalian dan perlindungan terhadap konsumen. Agus Suyatno, Sekretaris Harian YLKI, mengatakan, produk-produk yang berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat memang perlu dikendalikan peredarannya.

Namun, menurutnya, penerapannya jangan dilakukan secara bersamaan, karena memang ada banyak kenaikan beban di tahun 2020. “Supaya tidak memukul daya beli masyarakat, penerapannya harus bertahap dan periodik,” ujarnya.

Selain itu, penerimaan cukai yang diperoleh jangan dimasukkan ke kas negara. Tapi digunakan kembali untuk kepentingan konsumen. Misalnya dipakai buat program kampanye gaya hidup sehat masyarakat.

“Jadi harusnya dana itu dipakai untuk program edukasi dan sosialisasi hingga pelatihan bagaimana masyarakat bisa menurunkan berat badan dan mengurangi obesitas,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

×