kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Target Pajak, Antara Ambisi dan Realisasi


Kamis, 16 Januari 2020 / 20:49 WIB
Target Pajak, Antara Ambisi dan Realisasi
ILUSTRASI. Petugas melayani wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kemayoran, Jakarta, Selasa (25/6/2019). Pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada 2020 sebesar 9-12 persen atau sekitar Rp1.719,4 triliun-Rp1.766,8 triliun dari target Anggaran Pene

Reporter: Andy Dwijayanto, Havid Vebri, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Semua daya upaya telah dikerahkan, tapi hasilnya masih jauh dari memuaskan. Begitulah kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sepanjang tahun 2019 lalu.

Hingga Desember 2019, Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak hanya mampu terkumpul sebesar Rp 1.332,1 triliun. Jumlah itu adalah 84,4% dari target di APBN 2019 sebesar Rp 1.577,6 triliun.

Bila dibandingkan periode sama tahun lalu, penerimaan 2019 hanya tumbuh 1,4%. Selain itu, ada kekurangan penerimaan (shortfall) pajak sebesar Rp 245,5 triliun di 2019.

Asal tahu saja, shortfall pajak ini bukan yang pertama. Jika dirunut ke belakang, kekurangan penerimaan pajak sudah terjadi cukup lama. Bahkan dari data yang dihimpun, penerimaan pajak tidak pernah capai target sejak tahun  2009.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, penerimaan pajak tahun lalu tertekan lesunya kondisi perekonomian global.  “Kalau kita lihat, ekonomi kita terpengaruh pelemahan global. Terlihat dari komposisi penerimaan pajaknya,” katanya.

Kondisi itu, misalnya, terlihat dari realisasi pengumpulan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang jauh dari menggembirakan. Hingga Desember 2019, PPN dan PPnBM yang terkumpul Rp 532,9 triliun atau hanya mampu tumbuh 0,8% dari tahun sebelumnya. Jumlah itu hanya mencapai 81,3% dari target di APBN sebesar Rp 655,4 triliun.

Sementara pajak penghasilan (PPh) non migas terkumpul Rp 711,2 triliun atau 85,9% dari target Rp 828,3 triliun. Adapun PPh migas terkumpul Rp 59,1 triliun atau 89,3% dari target Rp 66,2 triliun di APBN 2019.

Suramnya penerimaan pajak itu sejalan dengan kinerja kantor wilayah (Kanwil) pajak yang banyak berada di zona merah. Salah satunya adalah KKanwil DJP 1 Jawa Tengah yang tak mencapai target.

Data Kanwil DJP Jateng 1 per 8 Januari 2020 menunjukkan realisasi penerimaan pajak tahun 2019 mencapai Rp 27,6 triliun atau 86,8% dari target sebesar Rp 31,8 triliun. Dengan postur penerimaan tersebut shortfall mencapai Rp 4,2 triliun.

Melihat capaian tersebut, tentu Ditjen Pajak tak bisa bernafas lega. Terlebih tantangan masih cukup besar karena tahun ini pemerintah menetapkan target pajak lebih ambisius lagi, yakni Rp 1.642,6 triliun atau naik 23,3% dari pencapaian tahun 2019.

Celakanya, kemampuan DJP memenuhi target pajak tahun 2020 pun diragukan akibat buruknya realisasi penerimaan pajak tahun lalu. Yon Arsal, Direktur Potensi, Kepatuhan, Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Kemkeu, menyadari beratnya target penerimaan pajak. “Potensi shortfall pajak tahun ini masih terbuka,” kata dia.

Menurutnya, tidak mudah menggenjot penerimaan pajak di tengah kondisi perekonomian global yang tak menentu seperti sekarang ini. Perang dagang yang belum menemukan titik temu yang positif memberikan tekanan ke iklim usaha di dalam negeri.

Kondisi itu mempengaruhi aktivitas ekspor dan impor dalam negeri yang ikut menurun secara signifikan. Akibatnya,  PPh dan PPn impor mengalami penurunan.

Tahun lalu, PPh dan PPn impor yang seharusnya berkontribusi hampir 18% dari total penerimaan pajak dan ditargetkan dapat tumbuh 23% pada APBN 2019, pertumbuhannya justru terkontraksi 7%.

Selain berdampak kepada aktivitas ekspor dan impor, kuatnya tekanan global juga berdampak kepada anjloknya harga komoditas. Meski sudah ada perbaikan pada harga komoditas sawit, dampaknya belum terlalu dirasakan karena kenaikan juga belum terlalu besar.

Akibatnya, pajak dari sektor industri pengolahan dan pertambangan yang menjadi penyumbang terbesar, ikut mengalami penurun. Ambil contoh pajak industri pengolahan.

Sampai akhir Desember 2019, realisasi penerimaan pajak dari sektor ini hanya  mencapai Rp 365,39 triliun, turun 1,8% dibanding 2018. Penurunan disebabkan oleh restitusi atau pengembalian pajak yang naik 18,05% serta PPh dan PPN impor yang turun 9,2%.

Begitu juga dengan realisasi penerimaan sektor pertambangan yang tercatat sebesar Rp 66,12 triliun per Desember 2019 lalu. Pencapaian tersebut turun 19% yoy dibandingkan 2018. Penurunan juga terjadi akibat restitusi pajak yang naik 11,16% dan PPh Badan yang turun 21,63%.

Melambatnya penerimaan pajak kemungkinan besar bakal berlanjut hingga tahun ini.  Oleh karena itu, Yon menyatakan, pihaknya sudah menyiapkan jurus untuk menggenjot pajak 2020.

Pertama, memacu kepatuhan wajib pajak dengan cara mempermudah pelayanan, termasuk cara pengisian Surat Pemberitahuan pajak Tahunan (SPT). Tahun lalu tingkat kepatuhan wajib pajak naik tipis dari 71% menjadi 73% dari total wajib pajak. “Kami juga akan terus memberikan edukasi dan kehumasan demi meningkatkan kepatuhan wajib pajak,” katanya.

Kedua, mulai Januari ini hingga akhir tahun, Kantor Pelayanan pajak (KPP) Madya akan ditambah 18 unit untuk menjaring besarnya potensi wajib pajak (WP) baru. Dengan langkah ini, dimungkinkan satu kanwil memiliki dua Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya.

Penambahan KPP Madya ini akan memudahkan pengawasan terhadap WP. Yon mengendus, masih banyak WP yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tapi belum tertib pajak.

Ketiga, pemanfaatan data Automatic Exchange of Information (AEoI), informasi data rekening di atas Rp 1 miliar, dan data informasi pihak ketiga.

Terlampau tinggi

Pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, apapun upaya yang dilakukan tetap sulit mengejar target penerimaan tahun ini karena targetnya terlampau tinggi.

Dengan target yang demikian besar tentu sangat sulit untuk dicapai. “Lebih baik bila pemerintah mempertimbangkan untuk merevisi target pajak agar lebih realistis,” ujarnya.

Bila tak direvisi, ia memperkirakan bakal kembali terjadi shortfall pajak tahun ini. Menurut perhitungan DDTC Fiscal Research, tahun 2020 akan terjadi shortfall sekitar 87,1% hingga 89% dari target yang sudah ditetapkan.

“Yang pasti sejak 2009 sampai 2019 target penerimaan pajak tak pernah tercapai, ini perlu kajian apa yang jadi sumber utama tidak tercapainya target-target itu,” ujar Danny.

Menurutnya, bisa saja target yang dipasang pemerintah tidak realistis sehingga terjadi shortfall atau ada beberapa faktor lainnya yang menyebabkan realisasinya selalu lebih rendah. Apalagi penerimaan pajak minim karena banyak masyarakat yang belum sadar dan peduli pajak.

“Persoalan cara pandang ini merupakan persoalan mendasar,” cetus Danny.

Maka itu, menurut dia, perlu juga dilakukan edukasi pajak sejak usia dini yang bisa dilakukan melalui inklusi pajak dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Danny menjelaskan, struktur penerimaan pajak di negara-negara maju sudah mengandalkan sektor PPh orang pribadi (OP). Berbeda dengan Indonesia yang masih mengandalkan penerimaan pajak dari sektor PPh Badan.

Nah, ke depannya Indonesia harus lebih fokus menggarap PPh OP, khususnya mereka yang menjalankan kegiatan usaha. Minimnya penerimaan pajak juga disebabkan masih tingginya shadow economy, sehingga transaksi ekonomi belum bisa masuk dalam administrasi pajak.

Untuk mengatasi itu, pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan dan sistem administrasi pajak yang dapat mengupayakan agar data dan informasi bisa diketahui oleh otoritas pajak.

Salah satunya menyangkut perkembangan ekonomi digital lintas batas negara. Menurutnya, pemerintah memiliki hak pemajakan atas penghasilan usaha yang didapat oleh para pemain ekonomi digital asing yang beroperasi di Indonesia.

Pendapat sama juga disampaikan Ajib Hamdani, Ketua Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center. Menurutnya, penetapan target 2020 terlampau tinggi dan kenaikannya tak sesuai dengan kondisi makro yang ada.

Ia berpendapat, kenaikan penerimaan pajak tahun ini harusnya dibuat di level 8% dari penerimaan tahun 2019. Dengan merujuk data penerimaan pajak tahun lalu yang mencapai Rp 1.332 triliun maka tinggal ditambah 8%. “Itu target 2020 yang paling relevan,” ujarnya.

Bila tidak direvisi, ia memastikan target 2020 akan over dan tidak akan tercapai lagi. Kondisi itu tak bisa dianggap remeh karena akan berdampak terhadap kemampuan anggaran negara.

Terbukti, kata dia, di tengah besarnya shortfall pajak tahun lalu, pemerintah sudah mengeluarkan obligasi di awal tahun ini untuk menambal kekurangan. “Itu harus menjadi pelajaran dan evaluasi,” ucapnya.

Imbas shortfall pajak, APBN 2019 memang mengalami defisit yang cukup dalam. Realisasi APBN 2019 membukukan defisit sebesar Rp 353 triliun atau 2,2% dari PDB, melebar dari target APBN 1,84% dan tahun lalu yang hanya 1,82%.

Shinta W Kamdani, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, sulit buat pemerintah mengejar target penerimaan pajak yang terlampau tinggi di tengah kelesuan ekonomi.

“Memang kita sudah mengupayakan perubahan dengan skema Omnibus Law yang menjanjikan banyak insentif pajak buat pengusaha, tapi itu saja tidak cukup,” jelasnya.

Menurut dia, pemerintah perlu juga perlu melakukan terobosan, seperti deregulasi dan debirokratisasi. Dengan begitu, ekonomi semakin bertumbuh dan berimbas ke penerimaan pajak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×